Text
Kontroversi pemikiran teologis Ahmadiyah dan pengaruhnya terhadap sikap keberagamaan masyarakat di Sulawesi Selatan
Disertasi ini ditulis atas dasar pemikiran bahwa di era Postmodernisme ini masih terdapat kesenjangan antara das sien dan das sollen. Era ini ditandai oleh semakin majemuknya wacana sosial, kultural dan keagamaan antara lain akibat globalisasi informasi sehingga pluralisme menjadi kenyataan yang tidak bisa dihapuskan. Di era ini masyarakat sudah semestinya memiliki kearifan teologis dalam menyikapi perbedaan berpikir, berpaham dan berkeyakinan. Akan tetapi pada kenyataannya terdapat sebagian anggota masyarakat masih belum mampu menghargai perbedaan pikiran, paham dan keyakinan orang lain. Mereka memaksa orang lain untuk berpaham, berpikir atau berkeyakinan sama dengan paham atau keyakinannya.
Penelitian ini menggunakan 2 (dua) langkah penarikan sampel; 1) sampel area, yaitu penarikan sampel berdasarkan wilayah (Makassar, Gowa dan Takalar), dan 2) sampel orang, yaitu dengan teknik stratified random sampling di mana peneliti menggunakan 300 responden sebagai sampel penelitian dari tiga komunitas yang berbeda; masyarakat umum, muballigh, dan akademisi.
Hasil penelitian ini menunjukkan di antara sekian banyak tuduhan penyimpangan/kesesatan ajaran Ahmadiyah, ternyata hanya terdapat 3 (tiga) paham teologis yang berbeda secara ekstrim dengan keyakinan masyarakat Islam umumnya. Ketiga paham itu adalah; 1) Ghulam Ahmad sebagai nabi, 2) Ghulam Ahmad menerima wahyu, dan 3) Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi dan al-masih al-mau'ud.
Pada umumnya mayoritas masyarakat mengenal nama Ahmadiyah, tetapi tidak mengenal seluk-beluknya. Mereka menganggap Ahmadiyah sebagai aliran sesat, sebagaimana difatwakan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam kaitan ini, MUI memiliki kontribusi yang sangat signifikan dalam menggiring opini masyarakat untuk turut mengkafirkan Ahmadiyah.
Meski mayoritas masyarakat mengaku tidak pernah membaca alasan-alasan/dasar pemikiran teologis Ahmadiyah, mereka tetap menolak 3 (tiga) paham yang diyakini Ahmadiyah. Walaupun demikian mayoritas masyarakat tidak menghendaki adanya kekerasan fisik terhadap warga Ahmadiyah. Mereka masih menganggap jemaah Ahmadiyah sebagai warga yang harus dilindungi dan diberikan hak-hak hidup di tengah-tengah masyarakat.
Dengan alasan stabilitas, mayoritas masyarakat tidak menghendaki adanya gerakan dakwah Ahmadiyah yang bertujuan untuk merekrut anggota di masyarakat. Mereka khawatir terjadi konflik akibat adanya persaingan dakwah antar lembaga atau organisasi keagamaan di dalam masyarakat.
Jika dianalisis sikap ketiga komunitas sampel (masyarakat umum, muballigh, dan akademisi) terhadap eksistensi dan paham Ahmadiyah, maka komunitas muballigh dan masyarakat umum tampak lebih ekstrim dalam menyikapi persoalan kontroversi teologi Ahmadiyah, sementara kelompok akademisi tampak lebih moderat dalam menghadapi masalah ini.
No other version available